Bagaimana cara melampaui referensi seadanya dan memastikan Anda terhubung dengan orang yang tepat? Dalam percakapan Zoom pada August 2021, Bill Cates, seorang coach penasihat keuangan dan penulis beberapa buku dengan topik referensi dari Annapolis, Maryland, AS; dan Tristan Karl Robert Hartey, anggota tujuh tahun MDRT dari Chester, Inggris, Britania Raya; berdiskusi tentang peningkatan kualitas referensi melalui penyempurnaan proses dan manfaat timbal-balik.
Bill Cates: Istilah-istilah berikut ini berbeda-beda pengertiannya: referensi, introduksi, dan rekomendasi. Jika Anda belajar ilmu psikologi, Anda akan belajar hierarki/piramida kebutuhan Maslow. Diawali dengan pangan, papan. Tapi bagi saya, jenjang terbawah adalah lead yang dihasilkan melalui metode apa pun yang digunakan untuk menghasilkannya. Biasanya, kualitas lead itu agak berbeda-beda. Ada orang yang bahkan tidak ingat bahwa mereka sudah menambahkan lead baru, dst. Yang berikutnya adalah "getok tular" (word of mouth). Word of mouth itu baik, dan penting. Promosi mulut ke mulut tentu kita perlukan. Saat orang mau membicarakan kita, itulah tanda bahwa kita pantas direferensikan. Namun, itu saja biasanya tidak cukup. Yang mempromosikan kita tidak selalu orang yang tepat.
Maka, yang berikutnya adalah rekomendasi. Rekomendasi itu baik karena orang bilang, “Coba bicara ke George, coba bicara ke Tristan, dan coba bicara ke Laura. Dia sangat recommended.” Dan itu baik. Bagi saya, referensi adalah hal yang orang istilahkan 'lead referensi' (referral lead). Contohnya begini, “Coba hubungi George; bilang aku yang memintamu.” Tapi, George tidak pernah mengangkat teleponnya. Dia tidak mengenal Anda. “Buat apa temanku memberikan kontakku ke orang ini?”
Itulah mengapa kita perlu menggunakan kata introduksi (perkenalan). Walaupun kita kerap menggunakan kata 'referensi', saat sedang bersama prospek, nasabah, pusat pengaruh (center of influence), gunakanlah kata 'perkenalan'. “Coba kita bahas cara memperkenalkan saya kepada Bob dan Laura.” Karena harus ada yang menghubungkan kita. Kalau tidak ada, kemungkinan besar kita akan diabaikan. Kita telepon, kita kirim email. Tapi mereka tidak tahu kita siapa. Kita bisa dikenalkan langsung dengan orangnya. Kita bisa dikenalkan lewat Zoom. Bisa pula dengan perkenalan lewat email. Ada banyak caranya, tetapi yang jelas, prosesnya belum selesai kalau kita belum dikenalkan.
Tristan, itu tadi pendapat saya. Bagaimana kira-kira menurut Anda? Atau mungkin Anda punya cerita seputar referensi dan perkenalan?
Tristan Hartey: Sangat setuju dengan Anda. Malah, salah satu alat yang saya buat – dan kami gunakan – berkaitan erat dengan perkenalan. Alat ini telah membantu kesiapan tim kami, dan membawa saya dari MDRT ke Top of the Table. Saya dulu memang dapat introduksi, tapi bukan ke orang-orang yang tepat. Karena itu, saya merancang sebuah kartu skor. Saya tidak tahu ada atau tidak orang yang menggunakan alat serupa, tapi pada dasarnya, penilaiannya didasarkan pada beberapa kriteria yang sesuai dengan konteks unik saya. Lantas, semua orang yang memberikan introduksi ini saya beri nilai dan peringkat.
Dari penilaian berdasarkan kriteria saya ini, mereka harus mencapai skor tertentu. Karena ada enam kriteria, batas bawah skor yang saya harapkan adalah 21 dari 30. Jika skor mereka 21 ke atas, saya akan lebih memperhatikan mereka karena perkenalan yang mereka berikan tepat dan mereka sudah paham cara mengenalkan saya. Jika skornya di bawah 21, perhatian saya kurangi karena waktu yang ada harus saya alokasikan kepada orang-orang yang bisa memberikan perkenalan yang baik kepada saya.
Metode ini telah melejitkan bisnis saya empat kali lipat. Karena saya jadi mencurahkan waktu untuk orang-orang yang memang saya harapkan introduksinya, yang benar-benar memahaminya. Mereka juga merasa diistimewakan karena saya lebih memperhatikan mereka. Cara ini efektif bagi saya, khususnya saat mencoba mendapatkan perkenalan dari, misalnya, akuntan dan pengacara di AS. Saya mencurahkan waktu untuk mereka yang memahami bisnis kita. Kartu skor ini sendiri sangat sederhana. Saya menyusun enam kriteria, yang dinilai dengan skala 1 sampai 5. Jadi, skor maksimalnya 30 (itulah mengapa rentang yang saya harapkan 21-30 poin). Saya rasa rekan-rekan lain perlu mencobanya. Yang terpenting, kriterianya didasarkan pada prinsip, target, dan tujuan kita sendiri. Dan ini sesuai dengan diskusi kita tadi: bahwa kita harus tahu betul profil nasabah ideal kita.
Bill Cates: Saya penasaran dan belum pernah dengar tentang metode ini. Apa saja kriteria yang Anda gunakan?
Tristan Hartey: Tiga kriteria yang utama adalah rasa percaya, rasa suka, dan rasa hormat. Saya nilai semuanya dengan skala 1 sampai 5. Lalu, ada koneksi, kultur, dan follow up. Untuk kriteria koneksi, saya sendirilah yang menilainya. Seberapa luas koneksi mereka? Kriteria kultur berubah-ubah, tergantung siapa mereka. Ambil contoh, pengacara. Saya akan menilai, Apakah ideal kultur mereka cocok dengan ideal kultur perusahaan kami? Karena jika saya ingin menjalin relasi timbal-balik, mereka juga mungkin menginginkan nasabah saya juga. Jadi, saya harus memastikan bahwa kultur kami cukup selaras. Yang terakhir adalah follow up: Apakah perkataan mereka sejalan dengan perbuatannya? Tidak ada gunanya mendapatkan atau memberikan introduksi ke orang lain – dengan harapan Anda mendapatkan timbal-baliknya – jika mereka tidak menindaklanjutinya. Itu malah akan merusak citra Anda.
Nah, jadi, skor dari semua kriteria itu saya jumlahkan. Dan di kasus saya, hasil terpentingnya adalah 60% dari orang yang saya dekati tereliminasi. Fakta ini cukup mengejutkan karena beberapa di antaranya adalah orang-orang yang saya sukai tetapi, harus diakui, tidak berguna karena tidak mampu memberikan perkenalan yang saya inginkan. Kriteria kultur bisa diganti dengan kata lain. Itu istilah yang saya pakai, tapi bisa diganti menjadi, misalnya, pemahaman. Sebaik apa mereka memahami bisnis Anda? Misalkan Anda menilai seorang akuntan, coba pikirkan, Apakah dia sungguh memahami saya? Jika sudah lama berelasi dan ternyata dia tidak paham, sebaiknya jangan banyak buang waktu untuk mencoba membina relasinya karena ternyata tidak ada gunanya.
Itulah kira-kira yang saya lakukan. Hasil terpentingnya, sistem ini mengeliminasi banyak orang yang saya sangka penting untuk mendapatkan referensi dan introduksi, padahal ternyata tidak. Kemudian – dan di titik ini penerapannya agak meluas – saya meminta para pemberi introduksi yang saya percayai untuk juga melakukan analisis menggunakan kartu skor ini. Dengan begitu, mereka bisa melihat bahwa, Oh, ternyata kerja sama kita efektif, ya. Rasa percaya di antara kami menguat sehingga kami berdua tambah semangat untuk saling memberi introduksi.
Bill Cates: Wah. Luar biasa. Saya rasa saya sendiri tidak bisa melakukannya karena perhatian saya terhadap detail tidak setajam itu, dan metode Anda juga lebih analitis. Tapi kalau Anda bisa melakukannya dan membangun bisnis dengan cara itu, saya rasa itu luar biasa. Karena banyak dari kita yang mendekati orang-orang yang ramah, tapi hasilnya nihil. Kita harus mengevaluasi metode itu. Jangan sampai waktu, tenaga, dan perhatian yang kita berikan tidak membuahkan hasil sama sekali. Jika relasi tersebut memang tidak membuahkan hasil, kita dengan sadar memilih untuk meninggalkannya.
Kadang-kadang, untuk berkembang kita harus merelakan. Kita harus merelakan relasi atau kegiatan atau cara yang pernah berhasil sekali tapi setelah itu tidak lagi.
Tristan Hartey: Ya. Salah satu kalimat terlarang di kantor kami adalah, “Oh, dari dulu caranya memang begini.” Kalimat itu dilarang keras. Orang yang mengatakannya akan dihukum: berdonasi ke badan amal. Pasalnya, pemikiran seperti itu membunuh inovasi. Berani menerapkan cara yang belum pernah dilakukan orang adalah salah satu hal sulit di bisnis jasa keuangan ini. Itulah mengapa saya menggunakan cara yang analitis. Tapi cara itu saya jalankan karena fokus saya dititikberatkan pada networking. Saya banyak meminta referensi, tapi tidak mendapatkan referensi yang tepat. Karena itu, saya mencoba menyelami masalahnya untuk mencari tahu alasannya.
Bill Cates: Hebat.
Tristan Hartey: Di kasus kami, selain harus pandai meminta referensi dan perkenalan, kami juga perlu memastikan adanya timbal balik. Kami perlu membalasnya. Adakah hal yang dapat Anda atau agensi Anda lakukan untuk membalas kebaikan mereka? Misalkan, Anda punya nasabah, yang memiliki lima kedai kopi. Coba beli kopi untuk kantor Anda dari kedainya.
Perbuatan kecil seperti ini besar pengaruhnya karena makin banyak Anda memberi, makin banyak Anda menerima. Tercipta pula simbiosis mutualisme di sana. Saya pribadi selalu memastikan ada timbal-baliknya. Jika ada orang yang kerap memberikan introduksi – bukan referensi – yang baik, mengenalkan Anda kepada banyak nasabah, cobalah – jika bisa – lebih sering menggunakan layanan mereka karena itu akan besar dampaknya bagi bisnis mereka. Dan sebenarnya, semua itu akan kembali lagi ke Anda karena, jika Anda – penasihat keuangan mereka – ikut membantu mengembangkan bisnis mereka, bisnis itu makin lama makin berkembang.
Bill Cates: Ya, saya rasa itu bagus sekali. Kalau boleh saya tambahkan, soal timbal-balik ini, mungkin yang terpikir kita adalah referensi, atau lebih tepatnya introduksi. Kita tahu, makin banyak memberi makin banyak menerima. Namun, melampaui itu, kita bisa melihat aspek lain dalam konteks relasi kita dengan nasabah. Mungkin nasabah tidak memiliki usaha sendiri. Karena itu, walau tidak bisa memberikan prospek atau membeli produknya, kita tetap perlu mengenalkan mereka ke produk atau layanan lainnya. Boleh jadi yang berkaitan dengan jasa keuangan. Boleh juga tidak berkaitan. Yang jelas, kita mencoba sebaik mungkin mengimbuhkan perilaku saling berbagi referensi dan saling memberikan introduksi ke dalam relasi kita dengan nasabah. Tidak perlu dipaksakan. Kalau mereka punya hobi atau minat tertentu, mungkin Anda bisa memperkenalkan mereka ke orang yang cocok.
Anda mencontohkan cara terbaik dalam memperkenalkan. Budaya seperti itulah yang ingin kita tunjukkan kepada nasabah. Kita berupaya mencipta budaya saling memperkenalkan. Dan mungkin, memang harus kita yang memulainya. Coba ajukan contoh pertanyaan bagus ini kepada nasabah yang punya bisnis sendiri, “Apa kriteria prospek yang bagus untuk bisnis Anda? Dan kalau saya bertemu orang yang memenuhi kriteria itu, seperti apa Anda ingin saya kenalkan kepadanya?” Pertama, ini menjadi cara Anda untuk lebih mengenal nasabah. Kedua, Anda menunjukkan niat untuk menjalin relasi yang baik.
Memang, boleh jadi ternyata mereka berdagang komponen helikopter dan Anda tidak punya kenalan konsumen komponen helikopter. Tidak masalah karena yang penting adalah pengutaraan niat dan sikap mau memberikan introduksi. Tentu, kalau Anda bisa merekomendasikan calon konsumen, lebih bagus lagi. Namun, pernyataan niat dan kemauan saja pun sudah sangat bagus. Cukup sering, ada dari mereka yang berkata, “Wah, kalau begitu, boleh saya juga mengirim prospek ke Anda?” Niat timbal-baliknya pun jadi terucapkan.
Kebiasaan saling memperkenalkan ini amat sangat penting. Kita mengembangkannya sebagai budaya. Kadang-kadang, kita memberi ke orang A dan mendapat dari orang B. Kita tidak tahu persis dari mana asal datangnya. Namun, biasanya dampaknya begitu besar dan orang-orang sukses yang selama bertahun-tahun ini saya wawancarai biasanya melakukan itu. Mereka menjadi jembatan penghubung. Mereka memandang diri sebagai orang yang membantu sesama dengan menghubungkan mereka ke orang lain. Itu satu unsur besar yang amat penting terkait dengan hal ini, saya rasa.
Tristan Hartey: Saya rasa kemauan untuk lebih banyak memberi itu penting sekali dalam hidup kita pada umumnya. Makin banyak memberi, makin banyak menerima. Namun, khusus pada kasus ini, makin banyak kita memberi, pasti makin banyak kita menerima. Karena orang ingin bekerja dengan orang yang dipercaya dan disukai. Semua kembali pada diskusi kita di awal tadi: yang dipercaya dan yang disukai. Benar. Biasanya, orang yang mau memberi adalah orang yang baik. Oleh karena itu, orang akan mau bekerja dengan Anda.